JAKARTA, CerminDemokrasi.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut dugaan korupsi investasi Indonesia Investment Authority (INA) dan Silk Road Fund (SRF) di Kimia Farma. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna mengatakan pengusutan kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.

“Itu masih tahap penyelidikan,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Anang Supriatna, di kompleks Kejaksaan Agung, Senin (11/8/2025).

Kejagung mengusut dugaan korupsi dalam pemberian dana investasi dari INA senilai Rp 1,86 triliun melalui anak perusahaannya, PT Akar Investasi Indonesia (AII), kepada PT Kimia Farma (Persero) Tbk dan PT Kimia Farma Apotek. Pemberian dana investasi ini terjadi pada 2023.

Dalam prosesnya, Anang mengatakan Kejagung telah memanggil sejumlah pihak untuk dimintai keterangan tentang dugaan korupsi di perusahaan farmasi negara tersebut.

“Beberapa pihak sudah dimintai klarifikasi,” ujarnya.

Lantas, seperti apa duduk perkara kasus dugaan korupsi investasi di Kimia Farma? Simak rangkuman informasinya berikut ini.

Duduk Perkara Korupsi Kimia Farma. Kasus dugaan korupsi di Kimia Farma ini bermula ketika Indonesia Investment Authority (INA) dan Silk Road Fund (SRF) menandatangani Perjanjian Pengambilan dan Pembelian Saham Bersyarat dan dokumen transaksi dalam acara B20 Summit pada November 2022.

Saat itu, PT Kimia Farma Tbk (KAEF) melepas saham PT Kimia Farma Apotek (KFA) dan menerbitkan saham baru KFA. Saham yang dilepaskan itu kemudian diambil oleh INA dan SRF, yang merupakan Sovereign Wealth Fund (SWF) milik Cina.

Rinciannya adalah, Kimia Farma yang berkode saham KAEF itu melepas sebagian saham KFA ke PT Akar Investasi Indonesia (anak usaha INA) dan CIZJ Limited (anak usaha SRF) senilai Rp 460 miliar. Selain itu, KFA juga menerbitkan saham baru senilai Rp 1,4 triliun yang diserap oleh AII dan CIZJ.

Pada 23 Februari 2023, INA dan SRF pun mengumumkan bahwa transaksi investasi mereka ke PT Kimia Farma Tbk dan PT Kimia Farma Apotek telah selesai. Transaksi investasi INA itu sebesar Rp 1,86 triliun yang setara dengan 40 persen saham di PT Kimia Farma Apotek (KFA).

KAEF dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, mengatakan usai transaksi ini ada penurunan persentase kepemilikan saham KAEF dalam KFA. Dari semula 99,99 persen menjadi 59,99 persen.

Usai transaksi ini, KAEF berencana mengembangkan segmen ritel farmasi, klinik kesehatan, hingga laboratorium diagnostika melalui KFA. Sasaran proyek ini ke wilayah wisata dan luar Jawa.

Sebelumnya, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Kimia Farma, Lina Sari mengungkapkan bahwa BUMN di bidang farmasi itu mengalami kerugian hingga 1,8 triliun sepanjang 2023. Menurutnya, salah satu faktor yang menyebabkan kerugian adalah dugaan adanya penyelewengan data atau rekayasa penggelembungan keuangan di Kimia Farma Apotek.

“Untuk detailnya belum bisa dielaborasi karena masih dalam tahap evaluasi dan audit oleh konsultan independen,” ujar Lina dalam konferensi pers, Selasa malam, 25 Juni 2024, di Gedung ILHI Bio Farma Grup, Cipinang, Jakarta Timur.

Dia pun menyebutkan Kimia Farma berkomitmen untuk melakukan transformasi usaha dan melakukan langkah-langkah perbaikan. “Di antaranya berfokus ke produk-produk bermargin tinggi dan melakukan efisiensi usaha,” ucap Lina.

Di 2024, Kimia Farma pun berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan operasional, pengendalian biaya, penguatan good corporate governance (GCG), serta mengalokasikan belanja modal yang dominan untuk pengembangan bisnis Kimia Farma Apotek.